logo sekolah

logo sekolah

PHSI

PHSI
phsi

rohis

rohis

PRAMUKA

PRAMUKA

hai hai

selamat datang,, semoga anda puas dengan blog kami...

amin

Cari Blog Ini

Selasa, 24 November 2009

SEBAB SEBAB KORUPSI

Daftar isi :

Daftar isi.................................................................................................................... Pendahuluan.............................................................................................................
definisi.......................................................................................................................
pokok bahasan..........................................................................................................
Pendapat para ahli...................................................................................................
Analisa ......................................................................................................................
Kesimpulan ..............................................................................................................
Daftar pustaka .........................................................................................................

Pendahuluan
Korupsi merupakan fenomena klasik yang telah lama ada dan oleh kebanyakan pakar diyakini usianya setua dengan peradaban masyarakat. Sejarawan Onghokham (1983) menyebutkan korupsi telah ada ketika manusia mulai mengenal hidup berkelompok. Secara lebih konkrit, Eep Saefulloh Fatah (1998), menegaskan bahwa di masa Raja Hammurabi dari Babilonia naik tahta pada tahun 1200 SM, telah ditemukan adanya tindakan-tindakan korupsi.
Korupsi secara leksikal adalah istilah dari bahasa latin, yakni “Corruptio/Corruptus” yang berari kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 1984). Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986).
Definisi
Istilah korupsi ini kemudian oleh para ahli dirumuskan definisinya sesuai dengan latar
belakang dari dari yang merumuskan definisi tersebut. Walaupun sekarang ditemui banyak definisi korupsi yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batas-batas yang dibuat oleh hukum.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, Mochtar Mas’oed (1994) berpendapat bahwa tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Dari pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, Adji (1996) berpendapat bahwa pengertian korupsi seharusnya tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.
Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. (KBBI, 1995). Secara yuridis, sebagimana yang tertera dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, istilah korupsi dipersempit

artinya menjadi: “Setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Dalam perkembangannya, korupsi telah menjadi wabah penyakit yang menyerang setiap negara di dunia. Korupsi kini sudah menjadi ancaman serius yang membahayakan perkembangan kehidupan bangsa-bangsa di dunia dan sudah seharusnya tindakan korupsi digolongkan sebagai kejahatan terhadap kesejahteraan bangsa dan negara. (Romli Atmasasmita, 2001). Sarah Lery Mboeik (2004), berpendapat bahwa tindakan korupsi telah berakibat pada disharmoni dan disintegrasi bangsa, baik berdasarkan kelompok/golongan atau berdasarkanetnis dan semakin lebarnya jurang perbedaan sosial-ekonomi antara pelbagai lapisan masyarakat. Akibat lain yang ditimbulkan dari suatu tindak korupsi adalah ketidakstabilan pemerintahan, terjadinya revolusi sosial dan menimbulkan ketimpangan sosial budaya (J. S. Nye, 1967).
Menurut M. Mc Mullan (1961), tindak korupsi juga dapat berakibat pada tidak efisiennya pelayanan pemerintah, kepada masyarakat, ketidak adilan dalam kehidupan bernegara, terjadinya pemborosan sumber-sumber kekayaan negara, rakyat tidak mempercayai pemerintah dan terjadinya ketidakstabilan politik. Sedangkan menurt mantan Wapres Amerika Serikat, Al Gore (1999), korupsi merupakan sumber penyebab runtuhnya suatu rezim.
Pada konteks Indonesia, S. Anawary (2005), berpendapat bahwa korupsi sudah merambah kemana-mana menggerogoti batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Menurut Gadrida Rosdiana Djukana (2007), tindak korupsi di Indonesia juga telah mengakibatkan tingginya angka kemiskinan, bombastisnya tingkat kematian ibu hamil, parahnya angka kekerasan terhadap perempuan, melonjaknya angka putus sekolah, meningkatnya pengidap gizi buruk dan merebaknya persoalan kriminalitas.
Dampak atau akibat dari tindak korupsi ini, juga digambarkan secara baik oleh Gatot Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul Mustofa (2003), dalam 3 (tiga) kategori, yakni: politik, ekonomi dan sosial-budaya. Secara politik, tindakan korupsi juga mengakibatkan rusaknya tatanan demokrasi dalam kehidupan bernegara, Karena: Pertama, prinsip dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tidak akan terjadi sebab kekuasaan dan hasil-hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh para koruptor. Ketiga, posisi pejabat dalam struktur pemerintahan diduduki oleh orang-orang yang tidak jujur, tidak potensial dan tidak bertanggungjawab. Hal ini disebabkan karena proses penyeleksian pejabat tidak melalui mekanisme yang benar, yakni uji kelayakan (Fit and Propper Test), tetapi lebih dipengaruhi oleh politik uang (Money Politic) dan kedekatan hubugan (Patront Client), ketiga, Proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga proses pembangunan berkelanjutan terhambat.
Sedangkan dampak korupsi dari aspek sosial diantaranya: Pertama, Pada tingkat yang sudah sangat sistematis, sebagian besar masyarakat tidak lagi menghiraukan aspek profesionalisme dan kejujuran (Fairness). Hal ini disebabkan karena semua persoalan diyakini bisa diselesaikan dengan uang sogokan. Kedua, Korupsi mendidik masyarakat untuk menggunakan cara-cara tidak bermoral dan melawan hukum untuk mencapai segala keinginannya.
Dari aspek ekonomi, dampak dari suatu tindak korupsi contohnya: Pertama, Pendanaan untuk petani, usaha kecil maupun koperasi tidak sampai ke tangan masyarakat. Kondisi seperti ini dapat menghambat pembangunan ekonomi rakyat. Kedua, Harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini disebabkan karena perusahaaan harus membayar “UPETI” atau “BIAYA SILUMAN“ sejak masa perijinan sampai produksi. Khusus untuk biaya siluman, biasanya dapat mencapai 20%-30% dari total biaya operasional perusahaan. Tingginya biaya siluman ini otomatis akan menurunkan tingkat keuntungan usaha dari para pemilik modal/pengusaha. Agar para pemilik modal/pengusaha tetap memperoleh banyak keuntungan dalam usahanya, biasanya mereka menekan upah buruh. Ketiga, Sebagian besar uang hanya berputar pada segelintir elite ekonomi dan politik. Realitas seperti ini mebabkan sektor usaha yang berkembang hanya di sektor elite, sementara sektor ekonomi rakyat menjadi tidak berkembang. Keempat, Produk petani tidak mampu bersaing. Tingginya biaya siluman juga mengakibatkan harga-harga faktor produksi pertanian (Pupuk, Pestisida, Alat Mekanik, dll) sangat mahal. Akibatnya harga-harga produk petani juga meningkat, sehingga tidak mampu meraih keuntungan karena kalah bersaing dengan produk impor.
Keseluruhan dampak dari tindakan korupsi yang telah dipaparkan diatas, dalam ilmu kriminologi, dipastikan dapat terjadi karena dua hal, yakni: Pertama, adanya niat (Intention). Intention/Niat ini dapat dihubungkan dengan faktor moral, budaya, individu, keinginan, dsb. Kedua, adanya kesempatan (Moment). Moment/Kesempatan ini dapat dihubungkan dengan faktor sistem, struktur sosial, politik dan ekonomi, struktur pengawasan, hukum, permasalahan kelembagaan, dll. Dengan pemahaman seperti ini, maka dari aspek kriminologi korupsi akan terjadi sesuai dengan rumus sebagai berikut: C=I+M (Ket: C=Corruption/Korupsi, I=Intention/Niat, M=Moment/Kesempatan). Rumus yang demikian pada dasarnya menunjukan bahwa apabila ada niat untuk melakukan korupsi tetapi tidak ada kesempatan, maka perbuatan korupsi tersebut tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika kesempatan untuk melakukan korupsi itu ada/terbuka lebar tetapi niat untuk melakukannya sama sekali tidak ada, maka tindak korupsi juga tak akan terjadi.
Berkaitan dengan itu, Robert Klitgaard, dkk (2002) berpendapat bahwa penyebab terjadinya korupsi dapat dijelaskan dengan rumus sebagi berikut: C=M+D-A (Ket: C=Corruption/Korupsi, M=Monopoly/Monopoli Kekuasaan, D=Discreation/Kewenangan, A=Accountability/pertanggungjawaban). Rumus ini menerangkan bahwa korupsi dapat terjadi jika adanya kekuasaan monopoli kekuasaan yang dipegang oleh seseorang dan orang tersebut memiliki kemerdekaan bertindak atau wewenang yang berlebihan, tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas. Berdasarkan rumusan ini, dapat diasumsikan juga bahwa semakin besar kekuasaan serta kewenangan yang luas dan semakin rendah kewajiban pertanggungjawaban dari suatu institusi/person, otomatis potensi korupsi yang dimiliki akan semakin tinggi.
Singh (1974), dalam penelitiannya menemukan beberapa sebab terjadinya praktek korupsi, yakni: kelemahan moral, tekanan ekonomi, hambatan struktur administrasi, hambatan struktur sosial. Kartono (1983), menegaskan bahwa terjadi korupsi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Di sisi lain Ainan (1982) menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu: Pertma, Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna. Kedua, Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes. Ketiga, Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap. Keempat, Dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi. Kelima, Manakala orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah.

Pokok bahasan
Tindak korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Faktor-faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan korupsi. Berikut ini adalah aspek-aspek penyebab seseorang berbuat Korupsi.

Pendapat para ahli

Menurut Dr. Sarlito W. Sarwono, tidak ada jawaban yang persis, tetapi ada dua hal yang jelas, yakni :

a. Dorongan dari dalam diri sendiri (keinginan, hasrat, kehendak dan sebagainya),

b. Rangsangan dari luar (dorongan teman-teman, adanya kesempatan, kurang kontrol dan sebagainya.

Dr. Andi Hamzah dalam disertasinya menginventarisasikan beberapa penyebab korupsi, yakni :

a. Kurangnya gaji pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin meningkat;

b. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi;

c. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien, yang memberikan peluang orang untuk korupsi;

d. Modernisasi pengembangbiakan korupsi

Analisa

Analisa yang lebih detil lagi tentang penyebab korupsi diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam bukunya berjudul "Strategi Pemberantasan Korupsi," antara lain :

1. Aspek Individu Pelaku

a. Sifat tamak manusia

Kemungkinan orang melakukan korupsi bukan karena orangnya miskin atau penghasilan tak cukup. Kemungkinan orang tersebut sudah cukup kaya, tetapi masih punya hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.

b. Moral yang kurang kuat

Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahanya, atau pihak yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.

c. Penghasilan yang kurang mencukupi

Penghasilan seorang pegawai dari suatu pekerjaan selayaknya memenuhi kebutuhan hidup yang wajar. Bila hal itu tidak terjadi maka seseorang akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Tetapi bila segala upaya dilakukan ternyata sulit didapatkan, keadaan semacam ini yang akan memberi peluang besar untuk melakukan tindak korupsi, baik itu korupsi waktu, tenaga, pikiran dalam arti semua curahan peluang itu untuk keperluan di luar pekerjaan yang seharusnya.


d. Kebutuhan hidup yang mendesak


Dalam rentang kehidupan ada kemungkinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi. Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.

e. Gaya hidup yang konsumtif

Kehidupan di kota-kota besar acapkali mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku konsumtif semacam ini bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.

f. Malas atau tidak mau kerja

Sebagian orang ingin mendapatkan hasil dari sebuah pekerjaan tanpa keluar keringat alias malas bekerja. Sifat semacam ini akan potensial melakukan tindakan apapun dengan cara-cara mudah dan cepat, diantaranya melakukan korupsi.

g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

Indonesia dikenal sebagai bangsa religius yang tentu akan melarang tindak korupsi dalam bentuk apapun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bila korupsi masih berjalan subur di tengah masyarakat. Situasi paradok ini menandakan bahwa ajaran agama kurang diterapkan dalam kehidupan.

2. Aspek Organisasi

a. Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan

Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.

b. Tidak adanya kultur organisasi yang benar

Kultur organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.

c. Sistim akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai

Pada institusi pemerintahan umumnya belum merumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya dan juga belum merumuskan dengan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna mencapai misi tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.

d. Kelemahan sistim pengendalian manajemen

Pengendalian manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

e. Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk.

3. Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada

a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu didapatkan.

b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama korupsi Masyarakat masih kurang menyadari bila yang paling dirugikan dalam korupsi itu masyarakat. Anggapan masyarakat umum yang rugi oleh korupsi itu adalah negara. Padahal bila negara rugi, yang rugi adalah masyarakat juga karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang karena dikorupsi.

c. Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi Setiap korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat sendiri. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

d. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila masyarakat ikut aktif Pada umumnya masyarakat berpandangan masalah korupsi itu tanggung jawab pemerintah. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

e. Aspek peraturan perundang-undangan Korupsi mudah timbul karena adanya kelemahan di dalam peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup adanya peraturan yang monopolistik yang hanya menguntungkan kroni penguasa, kualitas peraturan yang kurang memadai, peraturan yang kurang disosialisasikan, sangsi yang terlalu ringan, penerapan sangsi yang tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Kesimpulan:
Korupsi dapat terjadi jika ada dorongan / dukungan dari suatu hal, juga bisa terjadi jika ada kesempatan tertentu. Juga karena timbul rasa tamak/rakus/sejenisnya pada diri sang koruptor.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi di Indonesia harus dilakukan. Apalagi fakta membuktikan bahwa korupsi diberbagai segmen dalam kehidupan ber-Masyarakat, ber-Bangsa dan ber-Negara di Indonesia, sampai dengan saat ini masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pemberantasan korupsi ini tidak akan membawa hasil yang optimal, apabila hanya dilakukan oleh pemerintah dan instrumen formal lainnya, tanpa mengikutsertakan rakyat yang nota bene adalah korban dari kebijakan segelintir orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar